Banyak orang bilang kurma hanya bisa tumbuh dan berbuah di timur tengah. Sebenarnya itu hanya mitos. Kurma juga bisa berbuah di luar daratan timur tengah. Thailand lah pionirnya. Di negeri siam itu kurma sudah dikebunkan skala komersil. Yang menarik, mereka memetik buah kerabat aren itu ketika pohon berumur 3 tahun. Pekebun tidak butuh bantuan alat apa pun untuk memetiknya sebab tinggi pohon hanya 1 meter (dihitung dari permukaan tanah ke titik tumbuh). Di setiap pohon bergelayut 5—10 tandan. Bobot buah per tandan 5—10 kg. Posisi ujung dompolan nyaris menyentuh tanah.
Kebun-kebun kurma di negeri siam itu tak pernah sepi pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli kurma segar itu. Padahal, pekebun membanderol 500 baht setara Rp200.000 per kilogram. Pembeli bahkan rela memesan buah sebelum panen. Itu yang membuat Pratin Apichatsanee, pekebun kurma di Nakhonratchasima, harus menandadi setiap pohon dengan dama sang calon pembeli.
Nilai impor kurma Indonesia hampir Rp500-miliar per tahun. Padahal, Indonesia berpeluang besar mengebunkan kurma. Karena belum ada kebun kurma intensif, maka Indonesia harus mengimpor. Padahal, masyarakat Thailand justru mengebunkan Phoenix dactylifera secara massal dan intensif. Bahkan, mereka mempunyai kultivar kebanggaan yakni Kolak One (KL-1) yang adaptif di iklim tropis. Sekadar menyebut contoh, pekebun di Kanchanaburi, Anurak Boonlue, misalnya, mencabut seluruh tanaman tebu dan singkong di lahan 30 rai setara 4,8 hektar lalu menggantinya dengan kurma KL-1. Penggantian komoditas itu pada 2008. Kini populasi kurma di kebunnya 900 pohon. Umur pohon bervariasi 1—7 tahun.
Hasilnya rutin menuai 7,2—10,8 ton kurma segar dari 120 pohon betina setiap tahun. Ia membanderol harga 600 baht per kg. Artinya, ia meraup pendapatan sekitar Rp1,72-miliar sampai Rp2,59-miliar dari panen buah yang berlangsung selama 3 bulan itu.