Jabatan supervisor dengan gaji lumayan di sebuah perusahaan tekstil di Depok ditinggalkan begitu saja oleh Sholahudin Fuadi demi bisnis mainan anak.
Fuad memulai bisnis ini dengan modal minus, sekira Rp 400 ribu. Itu pun hanya pinjaman dari temannya.
Berawal dari kebutuhan mainan edukasi untuk Haula, putri pertamanya, yang cukup sulit didapat, Fuad melihat peluang bisnis cukup bagus di bidang ini. Dia menilai, permintaan masyarakat terhadap mainan anak-anak tidak akan hilang sampai kapanpun. Lebih menarik lagi, jika ada sisipan nilai edukasi di setiap barang yang akan jadi teman bermain sang buah hati.
“Dulu saya tidak mau anak saya sekadar bermain saja. Saya lebih suka kalau yang menemani hari-hari anak saya, bisa sekaligus mendidik dan mengasah kemampuan,” kata Fuad seperti Kaltim Post.
Ayah empat anak ini mengaku, saat krisis moneter waktu itu, tidak mudah menemukan barang-barang seperti itu, terlebih dengan harga murah. “Jadi saya putuskan untuk membuat sendiri,” terangnya.
Sembari memenuhi kebutuhan mainan anaknya, Fuad yang saat itu bekerja di sebuah perusahaan tekstil ternama di Jakarta, sedikit demi sedikit mencoba menjajakan karyanya. “Dulu saya cuma buat tiga model mainan bongkar pasang, huruf abjad, angka, dan geometri (bangun datar), “ ujar Fuad yang kini memiliki seribu lebih item mainan edukasi dari kayu. Selain menjual mainan kayu, dia juga menajajakan majalah dan buku untuk balita. “Kalau buku saya beli,” sambungnya.
Seusai menjalankan tugasnya sebagai karyawan sebuah perusahaan, dia menyempatkan menjual mainan. Menjalani pekerjaan ganda ini, dia membagi tugas dengan Ummu Masmu’ah, istrinya. “Istri saya lebih banyak mengurusi produksi di rumah,” katanya.
Sedangkan Fuad, kebagian tugas memasarkan dagangannya. “Biasanya sudah ada yang pesan. Tapi saya mesti bilang ke pelanggan, kalau barang pesanan baru bisa saya antar pukul 05.00 sore,” tuturnya.
Itu dijalani Fuad dan istrinya selama dua tahun. “Setiap hari saya kerja sambil bawa kardus yang berisi mainan,” ungkap pria 40 tahun ini.
Beberapa bulan setelah memproduksi mainan sendiri, pria yang memakai nama Haula–anaknya untuk nama perusahannya ini memilih untuk fokus berdagang.
Dia pun bertemu seseorang yang pernah menekuni usaha serupa. “Waktu itu sudah vakum,” katanya. Fuad kemudian mengajak bekerja sama dan siap memfasilitasi kebutuhan produksi.
Kini, pria yang tinggal di kawasan Jatinegara, Jakarta ini memiliki empat produsen untuk mainan kayu ini. Masing-masing pusat produksi, kata dia, memiliki sekitar 50 karyawan.
Berbeda ketika awal menjalankan usaha, tiga dari empat penyuplai mainan itu, memiliki manajemen yang terpisah. “Kalau dulu saya masih mengurus kebutuhan produksi. Sekarang saya bisa fokus berbisnis,” sambungnya.
Dalam kerja sama ini, dia menggunakan sistem Purchasing Order (PO) dengan para pengrajin. “Saya pesan sesuai kebutuhan, mereka buatkan,” katanya. Namun, Fuad mengaku, selama ini pengrajinlah yang mengejar produksi pesanan mainan.
Dia mengatakan, tak semua kayu bisa dijadikan mainan. Fuad hanya menggunakan kayu pinus, mahoni, dan karet. “Ada standar berat jenisnya,” terang Fuad saat ditemui pada stannya di Samarinda Book Fair 2013 kemarin.
Selain itu, dia juga harus memenuhi standar keamanan, agar mainan yang dia jual tidak berbahaya bagi anak-anak. “Biasanya pada pewarna (cat),” katanya.
Semua mainan yang dia kelola, kini telah memenuhi standar kemanan. “Semua ada sertifikasinya. Tapi untuk logo resmi dari SNI (Standar Nasional Indonesia), baru ada tahun depan,” jelas pria yang berkantor di Jatinegara, Jakarta Timur ini.
Usaha mainan edukasi ini, beromzet hingga Rp 6 miliar setahun. Namun, pria yang tidak pernah puas ini menargetkan, tahun ini dia harus mencapai angka Rp 40 miliar. Sekarang dia masih menunggu sertifikasi intenasional untuk mengekspor produknya.
“Sekarang masih uji lab. Sudah hampir setahun saya menunggu,” katanya. Jika telah melalui proses tersebut, katanya, bukan mustahil merealisasikan targetnya tersebut. “Sudah ada pesanan dari berbagai negara. Sebulan, bisa satu kontainer,” beber Fuad.
Kini, Fuad lebih disibukkan dengan mengisi pelatihan bagi para pelaku pengusaha kecil. Dia juga sering diundang sebagai “dosen jalan” untuk beberapa sekolah tinggi di Jakarta. “Ke kantor biasa cuma seminggu sekali. Kebanyakan ya jalan-jalan ke luar kota seperti ini,” selorohnya.
Kebanyakan, Fuad memasarkan mainan edukasinya ini ke sekolah-sekolah. “Anggaran pendidikan sekarang kan 20 persen dari APBN, saya yakin peluang untuk lebih berkembang sangat besar,” ucapnya.
Sisanya, untuk memasarkan mainannya, dia memiliki beberapa mitra bisnis yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. “Meraka tidak buka kios, cuma freelance,” tutup Fuad.
sumber : jabarbanten.com