Defisit suplai biji kakao yang merupakan bahan utama pembuatan cokelat, menghantui banyak produsen cokelat di seluruh dunia.
Menurut laporan terbaru yang berjudul Destruction by Chocolate, dunia disebutkan sedang menuju ambang batas defisit cokelat. Dengan tingkat permintaan semakin tinggi, terutama kalangan pembeli dari negara berkembang, membuat persedian cokelat semakin menipis.
Sayangnya, hal itu tidak diimbangi oleh oleh jumlah pasokan yang disebutkan semakin melambat akibat metode pertanian yang buruk dan tidak pernah berubah dalam kurun waktu ratusan tahun.
Laporan tersebut menemukan fakta, konsumen yang tinggal di Barat mampu menghabiskan rata-rata 286 batang cokelat dalam setahun. Angka tersebut semakin bertambah, jika menyebutkan tingkat konsumsi yang dihasilkan oleh konsumen di Belgia.
Padahal, untuk menghasilkan 286 batang cokelat, petani atau pihak produsen sedikitnya harus menanam 10 pohon kakao untuk membuat cokelat dan mentega – yang merupakan bahan utama dalam produksi cokelat.
Laporan tersebut juga mengungkapkan, sejak tahun 1990-an, lebih dari satu miliar orang dari Tiongkok, Indonesia, India, Brazil dan negara bekas Uni Soviet, telah memasuki pasar kakao dengan menanam pohon kakao di areal pertanian mereka.
Sayangnya, hal tersebut masih belum mampu mendongkrak tingkat pasokan kakao, mengingat tingkat permintaan yang terus meningkat. Walhasil, hal itu membuat persedian cokelat dunia semakin menurun ari waktu ke waktu.
Doug Hawkins dari perusahaan riset Hardman Agribisnis mengatakan, produksi kakao dunia terus berada dalam tekanan, dikarenakan metode pertanian tidak berubah selama ratusan tahun.
Tidak seperti tanaman pohon lain yang telah memperoleh manfaat dari perkembangan teknologi pertanian modern, lebih dari 90 persen tanaman kakao dunia yang dihasilkan oleh petani, ternyata tidak masih menggunakan meteode pertanian yang sama.
Melihat semua indikator yang ada, kita bisa mengatakan bahwa defisit cokelat akan mencapai lebih dari 100.000 ton per tahun dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan.