Inovasi jam tangan semakin banyak. Selain bahan-bahan yang sudah lazim seperti kulit, kayu, besi, tulang dan tanduk juga bisa dijadikan bahan baku jam tangan. Karya yang unik ini lahir dari tangan kreatif Marwan Eka Fadilah pemilik dan pendiri Groot Watch Indonesia.
Usaha ini dimulai Marwan bersama tiga orang rekannya yang lain pada awal 2014. Ketika mulai menyeriusi usaha tersebut, keempatnya mengeluarkan modal sekitar Rp30 juta untuk bahan baku dan uji coba.
Ide pembuatan jam tangan dari bahan tulang dan tanduk ini didapat Marwan tatkala melihat respon publik terhadap produk jam tangan dari bahan kayu.
“Saya melihat perkembangan jam tangan dari kayu yang cepat diterima pasar, makanya saya jadi ingin membuat jam tangan dari tulang dan tanduk. Saya sempat riset dan ternyata belum ada produk sejenis di Indonesia. Bisa dibilang Groot adalah yang pertama,” tuturnya kepada Bisnis.
Namun karena saat itu belum ada yang memulai usaha serupa, Marwan dan rekannya benar-benar memulai dari nol. Mereka memerlukan waktu selama satu tahun untuk melakukan riset dan ujicoba pembuatan produk.
Bahan baku yang digunakan pun tak semua jenis tulang. Marwan hanya memanfaatkan bahan baku berupa tulang sapi bagian paha dan tanduk kerbau.
Material itu diolah sedemikian rupa sampai rapi untuk bahan rantai dan badan jam. Adapun mesin jam yang digunakan di produknya yakni mesin yang diimpor dari produsen Jepang.
Dari dua jenis bahan baku itu, dia dapat menghasilkan tiga variasi warna produk yakni warna hitam untuk jam dari bahan tanduk. Kemudian untuk jam dari bahan tulang dihasilkan dua macam warna yakni warna putih serta warna cokelat keemasan yang didapat dari proses pengasapan.
Marwan membanderol produknya dengan harga Rp800.000 untuk jam dari tulang serta Rp1 juta untuk jam dari bahan tanduk.
Pemasaran Groot dilakukan secara sederhana, yakni dari mulut ke mulut. Dia juga memanfaatkan keberadaan media sosial yakni Instagram lewat akun @grootwatch.
Dari promosi itu, jam tangan Groot mulai dikenal publik. Hasilnya terbilang cukup memuaskan untuk satu produk jenis baru.
“Dalam sebulan bisa terjual 20 unit produk,” katanya. Dari harga jual produk yang ditetapkan, dia mampu mengantongi omzet sekitar 50%.
Pasar yang diincar untuk Groot sejauh ini masih meliputi wilayah Bandung dan Bali. Dalam lima tahun ini, dia berencana untuk menggarap pasar domestik dan belum berpikir untuk ekspansi ke ranah pasar ekspor.
Ke depannya dia berencana untuk membuat situs website agar pasarnya bisa lebih meluas.
Selama menjalankan bisnisnya, mahasiswa yang berdomisili di Bandung ini mengaku tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kendalanya sejauh ini yakni mendapatkan suplai bahan baku, terutama tanduk yang harganya lebih mahal dari tulang.
“Kesulitan yang lain pada proses pembuatan karena butuh ketelitian, bahan yang digunakan juga bukan semua tulang, hanya bagian paha karena bagian tersebut yang paling kuat,” ucapnya.
Saat ini dia juga masih terus mengedukasi pasar. Pasalnya jam tangan dari bahan tanduk dan tulang masih belum terlalu populer di Indonesia.
“Nilai jual Groot ini karena dibuat dari produk lokal tetapi dengan sentuhan kreatifitas. Produk kami juga ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah rumah pemotongan hewan. Saya ingin agar produk lokal bisa dicintai oleh masyarakat Indonesia,” ujarnya.