Ratusan tahun lalu, berbagai bangsa berebut kekuasaan di tanah nusantara yang kaya akan alamnya. Mereka saling berperang dan menempati wilayah kekuasaannya seperti Belanda, Jepang, juga Portugis.
Menapaki sisa-sisa kebudayaan mereka di Indonesia tampaknya bisa menjadi alternatif berlibur yang menarik. Salah satu tempatnya berada di pesisir Ibu Kota, yaitu Kampung Tugu, Jakarta Utara yang dahulu menjadi tempat tinggal bangsa Portugis.
Puluhan truk tronton terparkir rapi di setiap sudut kampung, adapun yang sibuk lalu-lalang mengantarkan peti. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.
Terik matahari khas pesisir pun tak menyurutkan puluhan wisatawan untuk menapaki jejak bersejarah di sini. Mereka sedang mengikuti perjalanan wisata bertajuk “Charity Walking Tour” dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/4/2016).
Tempat pertama yang kami singgahi ialah Gereja Tugu. Gereja yang telah diresmikan menjadi salah satu cagar budaya di Jakarta Utara tersebut merupakan simbol kemerdekaan bangsa Portugis mulai tahun 1735.
Kedatangan wisatawan disambut arsitektur khas Eropa dengan bangunan tinggi beserta jendela dan pintu utamanya. Tampak berdiri di tengah seorang pria bernama Frenky Abrahams, pria keturunan Portugis yang merupakan pengurus Majelis Jemaat Gereja Tugu. Ia pun menceritakan awal mula kedatangan nenek moyangnya ke Indonesia, hingga keturunannya sampai saat ini.
“Dahulu nenek moyang kami merupakan tawanan VOC yang dibawa dari Malaka, setelah Portugis kalah dengan Belanda di Malaka 1648,” ujar Frenky kepada wisatawan.
Ia mengatakan sebelum bangsa Portugis tiba di daerah Tugu, mereka ditempatkan dahulu di Roa Malaka (dekat Stasiun Kota) saat 1661. Disana lah sekitar 80 persennya mati karena serangan penyakit malaria dan kelaparan karena kawasan tersebut masih hutan belantara.
“Sisanya, yang bisa bertahan lah yang dimerdekakan ke kawasan Tugu, tapi dengan syarat memeluk agama Kristen Protestan,” ujarnya. Ia pun mengatakan Belanda benar-benar ingin menghilangkan unsur Portugisnya, dari mulai bahasa, budaya, hingga agama.
Bersamaan dengan dimerdekakannya warga Portugis tersebut menjadi kaum mardijker (kaum yang merdeka), dibuat pula sebuah gereja Protestan, yang saat ini menjadi Gereja Tugu.
Frenky menunjukkan masih ada benda yang merupakan peninggalan Portugis langsung dari Roma, yaitu alat untuk membaptis anak. Selain itu arsitektur yang masih terjaga ialah dari jendela dan mimbarnya.
Beranjaklah dari sana ke samping gereja tersebut, terdapat makam-makam keturunan bangsa Portugis abad 20 dan 21, mereka menggunakan nama Portugis, seperti Seymons, Nicholas, Abrahams, Bernes, Michiels, dan Burkens.
Nama-nama tersebut sudah tidak lagi asli marga Portugis, karena kebijakan VOC pada masanya, nama Portugis dicampur dengan marga Protestan dari Belanda. “Orang keturunan Portugis di sini tahun 1959 banyak yang ke Belanda. Sisa sedikit sekitar 300 kepala, itu juga sudah berakulturasi dengan berbagai macam suku di Indonesia,” ujar Frenky.
Sayangnya makam leluhur mereka di sebelum abad 20 sudah tertumpuk oleh makam keturunannya saat ini. Dengan hanya sebidang tanah yang diberi VOC, mereka ingin tetap dimakamkan dekat Gereja, sesuai ajaran Portugis.
Wisatawan pun dipandu mengitari ke sekeliling Gereja oleh tim Jakarta Food Adventure. Terdapat sungai dengan lebar 3-5 meter, konon sungai itulah yang sejak satusan tahun lalu menjadi jalur transportasi warga.
Semula tak ada yang tahu pasti asal usul sungai tersebut, sampai rombongan bertemu dengan salah seorang tokoh masyarakat bernama Andre Michels sebelum marganya diganti VOC menjadi Van Mardijkers.
Andre mengatakan sungai tersebut dahulu dibangun abad kelima oleh raja Purnawarman dan diberi nama Sungai Chandrabaga Gomati. “Dahulu lebarnya 20 meter dengan dalam 5 meter, sayang sekarang sudah dangkal dan tak terurus,” ujar Van Mardijkers.
Ketika wisatawan berkeliling kompleks Protestan Tugu di sini akan terlihat lekuk-lekuk wajah masyarakat khas Portugis. Menurut Andre, tanah kompleks tersebut merupakan pemberian saudagar tanah Belanda Cornelis Chastelein, seluas empat hektar.
Tak lama wisatawan singgah di salah satu kediaman tokoh masyarakat bernama Erni Lissie Michiels. Di rumahnya tersebut akan dimulai tradisi adat Kampung Tugu, semacam misa bagi umat Protestan, namun bercampur adat leluhur.
Selain itu, ibu berusia 76 tahun ini menjelaskan tradisi lain yang masih dipegang masyarakat Kampung Tugu keturunan Portugis. Yaitu ada “rabo-rabo”, semacam silaturahmi ke rumah-rumah warga saat Natal.
Setiap rumah yang didatangi wajib melantunkan tiga lagu untuk tamu yang datang. Selain itu ada “mandi-mandi”, tradisi mengoleskan bedak ke pipi warga lain dengan artian meminta maaf dan saling membersihkan diri.
Beranjaklah sekitar 400 meter dari rumah Erni, di Gang Bineka nomor 28, sebuah rumah dengan gazebo kayu, tempat yang paling tersohor bagi penikmat musik Keroncong Cafrinho Tugu. Keroncong Cafrinho Tugu sendiri merupakan seni musik akulturasi dari budaya Portugis, Melayu, Arab dan Betawi.
Tak lama wisatawan datang, berdirilah tujuh orang personel memegang biola, bass, gitar, dan ukulele. Mereka memainkan lagu Keroncong Tugu berjudul bater a porta (ketuk pintu), sebagai lagu pembukaan.
Selain musik, yang tak kalah menarik juga di sini wisatawan akan disuguhkan camilan khas Kampung Tugu. Yaitu ketan unti, pisang udang dan apem kinca. Ketiganya merupakan camilan warisan nenek moyang mereka, dan mempunyai waktu tersendiri untuk menikmatinya.
Lelah menari-nari ala folk keroncong cafrinho, pemandu mengajak wisatawan beranjak ke suatu rumah tertua di Kampung Tugu. Ternyata sang pemilik ialah Andre Van Mardijkers. Menurut Andre, rumah tersebut berusia lebih dari 250 tahun.
Dengan masih mempertahankan atap, tiang-tiangnya, bangunan tersebut seperti ditelan bumi secara perlahan. Tinggi tanah diluar rumah lebih tinggi sekitar 50 centimeter dari permukaan lantai dalam rumah.
Keluarga besar Van Mardijkers pun menyambut wisatawan dengan permainan keroncong yang hampir sama dengan bahasa Portugis, tapi ada beberapa lagu yang diadopsi dari keroncong masa kini, seperti lagu gambang Semarang.
Di sinilah salah seorang keluarganya masih sangat fasih berbahasa Portugis. Frederico dan Debora, wisatawan asing asal Portugis dan Brazil itu pun berinteraksi dengan asyiknya.
Di sini, para wisatawan dijelaskan silsilah keluarga Van Mardijkers mulai nenek moyangnya yang mendiami rumah tersebut sejak zaman penjajahan.
Lelah bercerita, santap siang khas Kampung Tugu pun sudah tersedia, di antaranya ada pindang serani, gado-gado tugu, hingga kue khas egg tart.
Penasaran dengan resep dan cara memasaknya? Rosalia, istri Andre Van Mardijkers pun dengan ramah memperagakan demo memasak hidangan khas tersebut di depan wisatawan.