Kesuksesan Perkebunan Kapas Di Australia Dapat Dijadikan Contoh

by

Keberhasilan produksi sebuah komoditas perkebunan tak lepas dari hasil penelitian menyeluruh dari hulu ke hilir. Salah satu contoh kesuksesan tersebut adalah perkebunan kapas di Australia. Negeri Kangguru tersebut sukses mengenali kelemahan geografis dan biologis serta mengefisienkan teknik good farming management yang sustainable. Hasilnya, Australia adalah salah satu eksportir kapas terbesar di dunia.

Kapas dianggap sebagai salah satu tanaman penting di Australia. Menurut National Cotton Council of America, negeri Kangguru tersebut merupakan eksportir kapas terbesar kelima dunia pada kuartal kedua tahun 2015 di belakang Amerika Serikat, India, Brazil, dan Uzbekistan. New South Wales dan Queensland Selatan merupakan daerah produksi utama. Tanaman kapas pertama kali ditanam di Australia sekitar tahun 1780-an. Kontribusi tanaman kapas yang signifikan terhadap perekonomian negara tersebut dimulai pada tahun 1958 ketika sebuah bendungan dibangun di Sungai Namoi untuk mendukung perkebunan kapas. Sejak itu, kapas telah dilihat sebagai komoditas yang berniai tinggi sehingga intensifikasi pertanian terkait komoditas tersebut ditingkatkan.

Intensifikasi pertanian tersebut melibatkan beberapa kegiatan seperti penggunaan mesin, irigasi, pestisida dan pupuk. Namun, penggunaan pupuk, pestisida dan air yang berlebihan menjadi perhatian utama dari masyarakat terkait dengan inefisiensi dan kerusakan lingkungan. Sudah bukan pertanyaan lagi bahwa praktik pertanian yang baik diperlukan untuk mengurangi dampak lingkungan dan mendapatkan hasil yang lebih baik secara kualitatif dan kuantitatif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil seperti rotasi tanaman, irigasi, input pupuk yang memadai, manajemen dan pengendalian penyakit tanaman kapas. Good farming management (GFM) yang sustainable dikombinasikan dengan strategi pemasaran yang baik merupakan skema yang diaplikasikan Australia dalam rangka mencapai peringkat puncak produsen dan eksportir kapas dunia.

Diantara semua aspek terkait GFM tersebut, pengelolaan air telah menjadi isu pada perkebunan kapas di Australia dan masih akan terus menjadi perhatian utama untuk tahun-tahun mendatang. Australia merupakan benua yang kering dimana sektor pertanian menggunakan 64,7% dari total air di negeri tersebut. Lebih jauh lagi, tanaman kapas menggunakan 6-7 juta liter/hektar air irigasi. Penelitian tentang peningkatan efisiensi penggunaan air di dalam perkebunan kapas masih terus dilanjutkan. Air merupakan faktor esensial untuk tanaman kapas dari masa penanaman hingga panen. Hal tersebut menjadi salah satu alasan utama Australia untuk menempatkan kebun kapas di barat laut dari New South Wales dan Queensland Selatan dimana air tersedia di sepanjang Murray-Darling Basin. Sebagian besar kebun kapas di Australia (80%) menggunakan sistem irigasi, terutama sistem irigasi gravitasi. Sebagian kecil sisanya bergantung pada curah hujan sebagai sumber air.

Disamping pengelolaan air, pengelolaan hama terpadu juga memainkan peran penting dalam perkebunan kapas. Pengelolaan hama terpadu (PHT, Integrated pest management) ini dimulai pada tahun 1967, ketika FAO mengadakan permuan dengan para ahli untuk menentukan konsep PHT. Penerapan PHT tersebut telah berhasil membatasi penggunaan pestisida kimia secara berlebihan. Pada masa lalu, petani kapas di Australia mengandalkan aplikasi pestisida dengan frekuensi dan dosis yang tinggi sehingga membuat beberapa hama menjadi resisten. Selain itu pencemaran lingkungan seperti ekosistem sungai juga merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan pestisida.

Adapun penyakit utama yang sering diamati di kebun adalah layu daun yang disebabkan oleh Verticillium dahliae. Penyakit ini telah menjadi masalah sejak tahun 1970. Program riset Australia berhasil meredam penyakit tersebut hanya menjadi 5% insiden dengan menggunakan rekayasa varietas tahan pada tahun 1995. Bagaimanapun juga, penyakit ini masih mempengaruhi perkebunan kapas hingga hari ini dikarenakan patogen tersebut memiliki kisaran inang yang luas, mampu bertahan dalam waktu yang lama, dan resisten terhadap beberapa fungisida. Sebanyak 90% dari kapas yang ditanam di Australia merupakan hasil modifikasi genetik sejak tahun 1990-an. Kapas transgenik tahan terhadap serangan serangga tersebut telah teruji di lahan perkebunan dan diklaim tidak menularkan polen kepada tanaman non-transgenik. Terlepas dari segala polemik di dunia internasional, Australia berhasil mengurangi secara signifikan (80%) penggunaan pestisida kimia pada lahan mereka.

Australia sangat memperhatikan keseluruhan penelitian yang meliputi faktor-faktor seperti rotasi tanaman, nutrisi, pengolahan air hingga penyakit. Menurut mereka, keseluruhan faktor tersebut dapat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas serat kapas. Hubungan tersebut telah dibuktikan oleh seorang ahli di bidangnya melalui penelitian panjang yang memperlihatkan bahwa daerah pertanian, jenis varietas tanaman, interaksi hara N dan P, serta jumlah air memang secara signifikan mempengaruhi peningkatan produksi.

Bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui bahwa potensi industri kapas di Indonesia belum secemerlang negara tetangga Australia. Indonesia adalah negara produsen tekstil no. 5 di dunia yang membutuhkan serat kapas sebagai bahan baku utama industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Saat ini, kebutuhan bahan baku industri TPT berupa kapas alam diperoleh 95,5% melalui impor. Produksi kapas dalam negeri tidak lebih dari 25 ribu ton dari total kebutuhan kapas sebanyak 550 ribu ton. Tantangan yang dihadapi oleh pengembangan kapas Indonesia cukup kompleks, berawal dari ketidaktersediaan benih bermutu sampai dengan kelangkaan modal petani yang memunculkan pendekatan produksi kapas organik. Ketersediaan sumber daya alam terutama lahan kering masih cukup luas di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang memberikan peluang bagi pengembangan kapas nasional. Oleh karena itu, komoditas kapas merupakan salah satu komoditas yang diprioritaskan untuk dikembangkan dalam mendukung revitalisasi perkebunan hingga 2025.

Pendekatan penelitian hulu-hilir untuk komoditas perkebunan seperti yang dicontohkan Australia bukanlah hal yang belum dilaksanakan di Indonesia. Komoditas-komoditas perkebunan lain seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao dan teh telah menemukan ritme dengan sistem yang teradaptasi untuk tiap komoditas. Namun demikian, pemerintah dan instansi-instansi terkait perkebunan seyogyanya terus berbenah dan terus berinovasi demi mendukung produksi yang semakin baik dari komoditas perkebunan existing dan yang lainnya.

Sumber : iribb.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *