Mendengar nama Si Pahit Lidah tentunya sebagian orang akan teringat dengan kutukan menjadi batu yang begitu melegenda di daerah Sumatera bagian Selatan.
Si Pahit Lidah adalah julukan bagi Pangeran Serunting dari Sumidang, Sumatera Selatan yang dipercaya merupakan anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang.
Dalam satu versi cerita diyakini jika Serunting adalah nenek moyang dari keturunan Suku Basemah yang tinggal di Sumatera Selatan bagian barat hingga Bengkulu. Serunting mempunyai kesaktian yang bisa mengutuk apapun menjadi batu, hingga dia dijuluki Si Pahit Lidah.
Salah satu Situs yang dipercaya berkaitan erat dengan Si Pahit Lidah adalah Batu Kabayan. Situs peninggalan zaman sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya diperkirakan sudah berusia ratusan tahun terletak di Desa Jepara, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan. Namun situs ini kini hanya menyisakan puing-puing bekas reruntuhan.
Kini kondisi Situs Batu Kebayan mulai terabaikan. Karena minimnya alokasi anggaran guna melakukan perawatan situs bersejarah tersebut.
Situs Batu Kabayan tersebut, sebenarnya pernah dilakukan penelitian oleh Arkeologi asal Jambi. Tetapi, penelitian dihentikan dan tidak diketahui penyebabnya, dan hingga kini belum dilanjutkan kembali.
Candinya terbuat dari sejenis batu kapur, fondasi berdenah empat persegi panjang, panjang 9 meter dan lebar 8 meter. Sedangkan, untuk pondasinya terlihat pelipit sisi genta dan padma. Disekitarnya, tampak panil batu kaki candi, panil ini empat persegi, diatas panil polos.
Batu Kabayan sendiri konon menurut cerita perwujudan dari sang pengantin wanita dan rombongan dikutuk oleh Si Pahit Lidah.
Awalnya, pengantin wanita diarak oleh rombongan menuju kediaman calon suaminya. Saat melintas, dari kejauhan yakni atas Gunung Seminung Si Pahit Lidah menyapa. Karena jaraknya yang jauh rombongan pengantin ini tidak menyahut panggilan Si Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah akhirnya, murka dan menyebut mereka mengabaikannya seperti batu, karena tidak mendengar dan tidak menjawab pertanyaannya.
Akibat terkena kutukan Si Pahit Lidah ini dalam waktu sekejap saja, semua orang mengiringi pengantin berikut sang pengantin serta barang-barang bawaannya langsung menjadi batu.
Berita inipun tersebar kemana-mana hingga terdengar oleh seorangĀ yang memiliki kesaktian yang luar biasa dia adalah seorang yang memiliki dua pasang mata yang terkenal dengan sebutan Si Mata Empat. Konon Si Mata Empat ini juga diyakini merupakan nenek moyang Suku Komering dan Lampung.
Karena merasa tertantang sekaligus merasa menemukan seseorang yang pantas untuk dijadikan lawan seimbang maka saat itu pula Si Mata Empat berangkat dengan diiringi beberapa pengawalnya untuk mencari Si Pahit Lidah tersebut.
Singkat cerita lalu Si Mata Empat bertemu dengan Si Pahit Lidah. Namun karena merasa gentar beradu kesaktian langsung dengan Si Pahit Lidah yang akan menang dengan kutukan lidahnya sehingga membuat Si Mata Empat menantang Si Pahit Lidah dengan cara lain.
Pemenang ditentukan dengan cara bergantian tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Siapa yang mampu menghindari terjangan bunga aren yang dipotong, akan menjadi pemenang.
Disepakati Si Mata Empat yang terlebih dulu tidur menelungkup di bawah bunga aren itu. Ketika bunga aren dipotong oleh Si Pahit Lidah dan deras menghujam ke tanah, ternyata dengan gesit Si Mata Empat mampu menghindar.
Itu karena Si Mata Empat memiliki dua mata di belakang kepalanya hingga dengan mudah menghindar ketika bunga aren yang lebat dan berat itu meluncur ke bawah.
Giliran Si Pahit Lidah tidur menelungkup di bawah gugusan bunga aren itu. Si Mata Empat kemudian memanjat pohon dan memotong bunga aren.
Gugusan bunga yang berat itu segera menghujam tubuh Si Pahit Lidah. Pangeran Serunting pun tewas karena tidak mampu menghindar dari terjangan gugusan bunga aren.
Namun sebelum mati Si Pahit Lidah sempat berucap jika keturunan Si Mata Empat menginjakan kaki di Gunung Dempo maka mereka akan celaka dan mati. Sehingga kepercayaan ini masih dipelihara oleh juru kunci Gunung Dempo di Pagaralam.
Karenanya juru kunci Gunung Dempo melarang keturunan Komering dan Lampung untuk mendaki gunung tersebut jika tidak ditemani oleh orang asli Pagaralam atau sang juru kunci.
Sementara itu setelah kemenangannya Si Mata Empat penasaran dengan kabar pahitnya lidah Si Serunting sehingga dia dijuluki Si Pahit Lidah.
Dengan penasaran dia kemudian mencucukkan jarinya ke mulut Si Pahit Lidah yang telah tewas. Lalu perlahan-lahan jari yang telah mengenai liur Si Pahit Lidah itu diisap oleh Si Mata Empat. Ternyata air liurnya meng