Nama Pantai Doreng tidak asing bagi masyarakat Sikka. Dalam agenda kegiatan wisata Kabupaten Sikka, pantai ini masuk urutan kelima, yang direkomendasikan untuk dikunjungi setelah Pantai Koka, Ndete, Museum Ledalero, Teluk Maumere, dan Pantai Doreng. Tiap obyek wisata ini memiliki keunggulan dan kekurangan.
Ketika air laut surut, tampak daratan mencapai 200 meter. Terumbu karang yang masih bagus terlihat jelas. Warga sekitar pantai tidak memiliki aktivitas di laut atau pantai sehingga terumbu karang dan kondisi pantai tidak rusak dan masih alamiah. Warga setempat tidak memiliki tradisi melaut.
Menjangkau pantai ini bisa dengan kendaraan roda empat atau roda dua dari Maumere, dengan jarak sekitar 40 kilometer. Sepanjang perjalanan menuju Pantai Doreng tampak pemandangan yang indah menawan, berupa lekukan gunung dan bukit indah, yang dihiasi dengan berbagai jenis tanaman perkebunan dan tanaman kayu produktif.
Permukiman penduduk dan lahan pertanian warga di lembah dan di sela-sela bukit dapat terlihat secara jelas dari punggung bukit di sepanjang jalan menuju Doreng.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer atau ketika memasuki Pantai Pola, yang terletak sekitar 30 kilometer sebelum Pantai Doreng, terdapat satu salib tua peninggalan Portugis yang oleh warga sekitar disebut Watu Cruss, artinya batu salib.
Batu berbentuk salib itu dibangun oleh saudagar dan pastor Portugis sekitar tahun 1600, setelah bangsa Portugis menemukan Pulau Solor dan sekitarnya pada 1500.
Watu Cruss dibangun bangsa Portugis sebagai tanda bahwa telah terjadi pembaptisan kepada warga lokal menjadi Katolik oleh orang Portugis waktu itu.
Saat ini, warga Bola menggunakan nama Watu Cruss di sejumlah media, seperti nama jalan, nama sekolah dasar, serta sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Batu yang dibangun dengan ketinggian sekitar 5 meter persis di bibir pantai itu patah tahun 1992 saat terjadi gempa dan tsunami di Sikka. Warga kemudian mengganti dengan kayu ulin, tapi berbentuk salib yang sama.
Perjalanan menuju Pantai Doreng menyusuri pesisir Watu Cruss ke arah timur. Jalan sepanjang 10 kilometer menuju Doreng masih berlubang, berkelok, dan banyak tikungan tajam dan membahayakan. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas di sepanjang jalan itu.
Ketika memasuki Bukit Nen Bura, tampak hamparan pasir putih sepanjang empat kilometer, dengan lebar ke arah daratan sekitar 70 meter. Di bagian pesisir pantai itu terlihat rimbunan pohon kelapa memanjang, mengikuti pantai pasir putih tersebut.
Tidak ada perahu nelayan yang sandar seperti di kebanyakan pantai lainnya. Warga sekitar tidak tahu melaut, kecuali berladang dan mengolah hasil perkebunan seperti kelapa.
Bernadus Kardiman (44), tokoh masyarakat Desa Nen Bura, Kecamatan Doreng, mengatakan, nama pantai itu sebenarnya Nen Bura, tetapi masyarakat Sikka pada umumnya lebih suka menyebut Pantai Doreng. Pantai terdapat di Desa Nen Bura. Kata nen bura berasal dari bahasa Sikka artinya pasir putih.
Tak diperhatikan
Kardiman menyebutkan, Pantai Doreng masuk dalam agenda pariwisata pemda, tetapi tidak pernah mendapat perhatian sama sekali. Jalan menuju pantai ini pun masih sangat buruk sehingga turis-turis yang berkunjung ke pantai mengeluhkan soal jalan.
Masyarakat sudah menyampaikan masalah jalan dan pembangunan pantai wisata ini, tetapi belum ditanggapi pemerintah kabupaten.
”Pantai ini ibarat gadis cantik yang belum dijamah,” kata Kardiman, sambil tersenyum.
Ia mengatakan, pada akhir tahun 2004, seorang turis berkebangsaan Inggris, yakni Steven Park, telah mengontrak tanah di pantai itu seluas satu hektar selama 20 tahun untuk membangun penginapan dan pusat hiburan.
Namun ketika terjadi Bom Bali II (2005), tempat hiburan dan karaoke milik Steven di Bali pun hancur berantakan. Steven pun menghentikan kegiatan di Pantai Doreng dan memilih pulang ke negaranya.
Turis-turis asing sering mengunjungi Pantai Doreng, tetapi jumlahnya hanya sangat sedikit, hanya sekitar lima orang per bulan. Para turis itu mempersoalkan buruknya akses dari Maumere menuju Doreng.
Mereka juga mempersoalkan tidak tersedianya fasilitas pendukung di pantai, seperti air bersih, rumah penginapan, serta fasilitas mandi cuci dan kakus (MCK).
Beruntung bagi mereka, karena ada yang mampu menarik perhatian, yakni kegiatan menenun kaum perempuan Desa Nen Bura di sekitar pantai itu.
Simon Susar, warga Desa Nen Bura, mengatakan, anak-anak sekolah sering bermain di pantai itu pada hari libur. Gelombang laut tidak membahayakan bagi pelayaran, tetapi warga tidak memiliki tradisi menangkap ikan.
Kalaupun ada warga yang ke laut, mereka hanya mencari kerang, udang, dan kepiting saat air laut surut. Akan tetapi, jumlah warga yang terlibat dalam kegiatan itu hanya beberapa orang.
”Kami pernah minta Pemerintah Kabupaten Sikka agar memberi pelatihan bagi warga setempat untuk budidaya rumput laut di luar pantai pasir putih, tetapi sampai hari ini tidak ditanggapi. Kalau warga sudah berani mengelola rumput laut, suatu saat mereka bisa tertarik untuk menangkap ikan,” kata Susar.
Sumber : Kompas