Pemerintah perlu mengembangkan sistem evaluasi kinerja pembangunan untuk mengetahui capaiannya sekaligus kontribusinya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan kerentanan sistem tersebut terhadap dampak perubahan iklim.
Executive Director the Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) IPB Rizaldi Boer, mengatakan keberhasilan untuk melaksanakan pembangunan rendah emisi berbasis lahan ditentukan oleh kemampuan dalam mensinergikan, mensinkronisasikan, dan mengintegrasikan program pembangunan terkait dengan pengelolaan sumber daya lahan dan hutan antar sektor baik secara vertikal (pusat dan daerah) maupun horizontal.
Dalam Lokakarya pembelajaran tingkat nasional dengan tema Mewujudkan Sinergi Berjenjang dari Proses Pembelajaran Penyusunan Perencanaan Pembangunan Rendah Emisi Berbasis Lahan di Indonesia, sistem evaluasi kinerja pembangunan perlu disiapkan sehingga capaian dari hasil pembangunan dapat diukur tidak hanya dari sisi pembangunannya saja tetapi juga kontribusinya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan kerentanan sistem pembangunan tersebut terhadap dampak perubahan iklim.
Selain itu, sistem pengumpulan data pembangunan harus disempurnakan agar kualitas dan akurasi data menjadi lebih baik, khususnya terkait dengan data kunci yang dijadikan sebagai indikator utama mengukur capaian kinerja pembangunan dan penurunan emisi.
Pelaksanaan kebijakan satu peta dan satu data (one map and one data policy) perlu dipercepat untuk membantu dan mendorong terbangunan sinkronisasi, sinergitas dan integrasi program pembangunan antar sektor yang lebih baik, katanya.
Sejak awal, Pemerintah Indonesia telah mempunyai komitmen dan siap berkontribusi besar pada upaya-upaya penanggulangan perubahan iklim. Komitmen awal untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 kembali di perkuat oleh pemerintah Indonesia yang disampaikan pada pidato Presiden Joko Widodo dalam COP 21 pada 20 November 2015.
Pada ajang COP 21 di paris Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah “business as usual” (BAU) pada 2030, atau 41 persen dengan bantuan internasional.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk menanggulangi permasalahan perubahan iklim ini pun dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Sasaran yang ingin dicapai terkait penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam dokumen RPJMN tahun 2015–2019 ini adalah menurunnya emisi gas rumah kaca untuk lima sektor prioritas di antaranya kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah.