Strategi Jitu UKM Hadapi MEA

by

Tanggal 31 Desember2015, pasar tunggal ASEAN mulai berlaku. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimaksudkan untuk mengintegrasikan perekonomian ASEAN dengan empat pilar:

Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, meningkatkan daya saing, meningkatkan pembangunan ekonomi yangadil, danlebihmengintegrasikan ASEAN ke dalam ekonomi global. Pemberlakuan MEA pada satu sisi akan memberikan peluang karena terjadinya arus bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Dengan adanya MEA akan mendorong kawasan ASEAN menjadi lebih terintegrasi, dinamis dan kompetitif dalam menghadapi persaingan dagang kawasan dan global.

Saat ini nilai perdagangan intra- ASEAN mencapai USD1,5 triliun per tahun dengan kombinasi produk domestik bruto mendekati USD2,5 triliun dengan populasi gabungan sebesar 630 juta orang. Liberalisasi ini akan menghadirkan banyak peluang sekaligus tantangan, tergantung dari kesiapan pelaku bisnis dalam menghadapinya. Sebagai kawasan perdagangan bebas, lebih dari 70 persen produk yang dibuat di ASEAN tidak akan dikenakan tarif, alias nol tarif.

Ini membuat pergerakan bebas barang dan jasa yang diperkirakan dapat menurunkan harga bahan baku dan biaya produksi di ASEAN hingga 10-20 persen. Sayangnya penurunan tarif ini yang justru belum banyak dimanfaatkanolehUKM. Menurut perkiraan hanya sekitar 20- 25 persen perusahaan Indonesia yang memanfaatkan penurunan tarif preferensial (common effective preferential tariff/CEPT) yang berlaku di AFTA atau MEA.

Akibatnya peluang penurunan tarif ini justru banyak dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional. UKM sendiri merupakan bagian penting dari perekonomian ASEAN. Sampai saat ini, 96 persen dari perusahaan ASEAN adalah UKM yang terdiri 50 persen sampai 95 persen menggunakan tenaga kerja dalam negeri; memberikan kontribusi 30 persen sampai 53 persen dari produk domestik bruto (PDB); dan berkontribusi 19 persen sampai 31 persen dari ekspor.

Sementara UKM Indonesia menyumbang 99,98 persen unit usaha di Indonesia, menyumbang 57 persen PDB nasional dan lebih dari 97 persen penyerapan tenaga kerja domestik. UKM kita selama ini banyak bergerak di sektor informal di pedesaan dan cenderung belum well inform.

UKM sendiri selama ini masih gagap menghadapi persaingan domestik dengan usaha menengah dan besar, namun sekarang tiba-tiba harus menghadapi sesama UKM dari semua negara ASEAN. Masalah kesiapan dalam menghadapi MEA bukan monopoli UKM kita. UKM negara lain juga menghadapi kondisi hal yang sama. Sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Institut Studi Asia Tenggara (2015) menemukan bahwa kurang dari seperlima bisnis kawasan ASEAN yang siap menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN.

Pada pertengahan tahun ini, Kementerian Perdagangan Malaysia melakukan survei terhadap sekitar seribu industri skala kecil dan menengah. Lebih dari setengah dari mereka yang tidak tahu tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN, terutama apa yang bisa dilakukan untuk bisnis mereka.

Ada sekitar 60% UKM tidak menyadari peluang di negara-negara ASEAN lainnya, baik mereka tidak menyadari apa itu MEA atau tidak menyadari peluang yang tersedia di negara-negara ASEAN. Kondisi serupa juga dialami oleh beberapa negara ASEAN lainnya. Myanmar, misalnya juga menghadapi kendala yang tidak jauh berbeda. Bahkan para pengusaha Myanmar sendiri mengaku belum siap untuk bergabung dalam pasar MEA. Artinya Indonesia bukan satu satunya negara ASEAN yang masih memerlukan persiapan lebih banyak.

Strategi UKM

Diperlukan sebuah strategi bisnis yang tepat bagi UKM dalam memosisikan diri menghadapi MEA. Pada dasarnya setiap negara memiliki keunggulan bersaing yang berbeda sesuai dengan resources negara yang bersangkutan. Setiap negara memiliki awarnessyang hendak di bangun dalam menghadapi persaingan.

Kesulitan yang dihadapi oleh UKM kita dalam bersaing adalah lemahnya kegiatan branding dan promosi serta penetrasi pasar diluar negeri. Kesulitan ini jangan sampai membuat UKM kita terdesak untuk masuk pasar luar negeri. Tantangan tersebut, bukan hanya menjadi tanggung jawab UKM saja, tetapi juga pemerintah. Selain itu ada banyak tantangan dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Hingga kini kita masih menghadapi persaingan dengan negara lain terkait dengan daya saing infrastruktur, kesiapan sumber daya manusia, pembiayaan lembaga keuangan dan perbankan dalam mendukung perkembangan UKM, dan iklim bisnis yang mampu mendorong persaingan dan efisiensi bisnis.

Selain itu, UKM harus mampu beradaptasi dengan lingkungan bisnis secara keseluruhan, kemudahan akses terhadap pembiayaan, akses ke pasar, dan produktivitas dan efisiensi. Akses ke lembaga keuangan merupakan sebuah rintangan utama, karena pembiayaan untuk UKM masih menggunakan skema kredit komersial, bahkan suku bunga pembiayaan Indonesia jauh dari kompetitif di banding negara ASEAN lainnya.

Belum lagi perusahaan khusus mikro yang memiliki potensi untuk berkembang dari usaha kecil atau menengah masih mengalami hambatan berkoneksi dengan lembaga keuangan karena mereka tidak memiliki dokumentasi keuangan dan catatan, tidak ada hubungan perbankan, dan kurang melek finansial. Asimetri informasi kredit UKM, ketersediaan atau kurangnya kredit yang dijamin, ketidakcocokan program pembiayaan UKM, semakin menambah masalah.

Sementara itu, kalangan perbankan juga harus mampu menjembatani akses yang lebih baik dalam membiayai UKM. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan keterampilan manajemen risiko lembaga keuangan dan memahami lebih jauh kebutuhan sektor tersebut, sehingga meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola program pembiayaan UKM.

Selain itu, kalangan perbankan harus membantu para UKM menyadari pentingnya perilaku pembayaran yang baik bagi mereka sendiri karena hal itu akan dapat mendukung permintaan kredit untuk UKM mereka. UKM juga harus memahami dan mengendalikan risiko keuangan dan likuiditas, agar tidak menimbulkan utang lebih tinggi dari pendapatan mereka, menghindari penipuan identitas (informasi pribadi mereka digunakan oleh orang lain untuk mendapatkan kredit) dan lain sebagainya.

UKM didorong untuk memiliki pola pikir yang kompetitif; terhubung ke target pasar; sesuai dengan standar internasional dan proses terbaik di kelasnya atau benchmarking; bersaing secara berkelanjutan; dan beradaptasi dengan praktik bisnis terbaik. Dalam menghadapi MEA, usaha kecil dan menengah (UKM) juga didesak untuk mampu berintegrasi dengan pasar bebas ASEAN (MEA) menjadi sebuah kesempatan untuk tumbuh.

Masyarakat ekonomi ASEAN memberikan kesempatan bagi UKM untuk menjadi pemain utama di pasar ASEAN dan memungkinkan untuk terintegrasi dalam jaringan produksi regional dan rantai nilai global. Dengan kemampuan bersaing ini, UKM Indonesia akan mampu menjadi pemain regional dan global yang kompetitif dan meningkatkan produktivitasnya menghadapi pasar bebas ASEAN.

 

Sumber : Okezone

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *