Berkunjung ke Cirebon ada banyak hal bisa dijelajahi. Ingin wisata sejarah, wisata budaya, hingga kuliner yang memanjakan lidah, semua tersedia di sana.
Kota di pesisir utara perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah ini juga mudah diakses menggunakan kereta api. Jadi tidak perlu berlama-lama macet di tol jika ingin ke sana.
Produk kebudayaan masa lalu mudah ditemukan di Cirebon mengingat kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang pernah berjaya pada abad ke-15. Namun tentu saja, jejak kebudayaan Islam yang paling mudah dijumpai di kota ini.
Jejak Islam identik dengan Sunan Gunung Jati. Sunan yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah ini merupakan satu dari walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Cirebon.
Sebelum Gunung Jati menyebarkan Islam di sana, Cirebon merupakan salah satu wilayah milik Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor, Jawa Barat.
Anak Prabu Siliwangi, penguasa Pajajaran, yakni Sri Mangana Cakrabuana, ingin menyebarkan Islam, lepas dari kerajaan Hindu ayahnya. Maka, Cakrabuana membabat hutan di wilayah Caruban yang kini dikenal sebagai Cirebon.
Syarif Hidayatullah tidak lain adalah keponakan Cakrabuana yang kemudian menikah dengan putri Cakrabuana bernama Ratu Ayu Pangkuwati. Setelah Cakrabuana meninggal, Syarif Hidayatullah memimpin wilayah Caruban dengan gelar Sunan Gunung Jati (1478-1568).
Maka tidak heran jika segala hal selalu dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di tanah Cirebon. Docang misalnya. Masakan tradisional khas Cirebon ini konon merupakan masakan olahan sang wali.
Melalui docang, wali mengajarkan agar masyarakat tidak mudah membuang makanan. Docang ini bermula ketika Sunan Gunung Jati melihat banyak warga begitu mudah membuang makanan, salah satunya adalah makanan sisa syukuran sang wali. Agar tidak sia-sia, sunan pun mengolah kembali sisa makanan yang belum tersentuh itu menjadi masakan baru.
Dengan campuran bumbu santan dan tempe oncom, docang menjadi makanan yang rasanya unik di lidah. Bumbu docang ini diguyurkan pada sayuran berupa daun singkong dan taoge. Ada juga parutan kelapa muda yang dicampurkan pada bumbu.
Di Cirebon masih banyak ditemukan para penjual docang meski jenis masakan yang dijual ini tidak sebanyak empal gentong. Di warung depan stasiun besar Kejaksaan, docang dijual sejak pukul 02.00.
Setelah mencicipi docang, perjalanan menjelajahi Cirebon bisa dilanjutkan untuk mengunjungi kampung batik trusmi.
Kampung pembatik yang kini semakin menggeliat kegiatan ekonominya ini berada di daerah Plered, sekitar 4 kilometer di sebelah barat kota Cirebon.
Setiap kali menyebut kata batik cirebon, orang selalu mengaitkan dengan Desa Trusmi, padahal masih ada desa lain yang juga memproduksi batik, seperti Desa Gamet, Kaliwulu, Wotgali, dan Kalitengah.
Sejarah Trusmi juga tidak lepas dari Sunan Gunung Jati. Menurut sejarah yang disebarkan dari mulut ke mulut para pembatik, dulunya ilmu membatik di desa itu diajarkan oleh Ki Gede Trusmi, salah satu pengikut Sunan Gunung Jati. Ki Gede Trusmi mengajarkan membatik sambil menyebarkan ajaran Islam.
Ada puluhan toko batik yang berderet di Trusmi yang berada di wilayah Kecamatan Plered itu. Mereka saling bersaing untuk menggaet pasar, terutama wisatawan yang datang ke Cirebon. Berbagai motif batik pun ditawarkan dengan segala rupa fungsinya, mulai dari rok, kemeja, penutup meja, sarung, dan lain-lain.
Di Pusat Grosir Trusmi itu, pengunjung tidak hanya dimanjakan dengan berbagai model dan motif batik, tetapi juga bisa melihat sendiri proses pengolahan batik sejak dari membuat motif hingga menjadi kain yang siap dijual.
Sore hari adalah saat yang tepat untuk menjelajahi keelokan lain dari Kota Cirebon. Jika Anda sudah bosan dengan keraton Cirebon, boleh mencoba untuk menjelajahi Gua Sunyaragi yang bentuknya unik. Gua Sunyaragi ini berada di Jalan Brigjen AR Harsono atau dikenal sebagai daerah Kesambi di Kota Cirebon.
Sunyaragi memiliki keunikan tersendiri yang belum pernah ditemukan di daerah lain. Bangunan taman air peninggalan Panembahan Ratu I ini dari luar berbentuk seperti candi yang terbuat dari batu karang, tetapi ruangan-ruangannya berbentuk seperti gua.
Dari luar, bangunan di atas lahan seluas 1,5 hektar itu tampak tidak beraturan karena tonjolan karang di sana sini.
Lebih dari 500 tahun lalu, Pangeran Emas Zaenul Arifin atau Panembahan Ratu I membangun kawasan taman sari itu. Dulunya kawasan yang kini menjadi daerah ramai di Cirebon itu adalah hutan jati. Penerus Sunan Gunung Jati itu kemudian membangun Sunyaragi di atas Danau Segara Jati di tengah hutan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari Keraton Kasepuhan.
Gua Sunyaragi menyimpan keunikan untuk dijelajahi. Kawasan ini menjadi lebih sejuk saat sore hari sehingga tidak perlu khawatir tersengat terik matahari saat menjelajahi areal ini.
Sunyaragi merupakan tempat menyepi keluarga keraton. Pada masa Perang Dunia II, Gua Sunyaragi dipakai untuk mengatur strategi melawan Belanda sehingga salah satu bangunan di situ pernah dibom Belanda.
Dibangun dalam beberapa tahap, Sunyaragi memiliki berbagai gaya arsitektur yang berbeda, yakni perpaduan gaya arsitektur Hindu, Tiongkok kuno, Timur Tengah, dan gaya Eropa.
Gaya arsitektur Islam tampak pada relung-relung pada dinding bangunan. Ada juga tempat mengambil air untuk sembahyang hingga bangsal Jinem yang dari belakang bentuknya tampak menyerupai Ka’bah.
Adapun gaya arsitektur Tiongkok tampak dari ornamen keramik pada bagian luar bangunan Mande Beling. Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding, istri Sunan Gunung Jati yang diboyong dari Tiongkok, konon ikut mendesain bangunan Gua Arga Jumut dengan motif mega mendung. Mega mendung sekarang ini menjadi motif batik khas cirebonan.
Selepas senja, Anda bisa melanjutkan kunjungan ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Biasanya, pada hari-hari tertentu, kompleks pemakaman tersebut memang selalu dipadati peziarah hingga malam hari.
Makam sunan dibangun ini di atas lahan seluas 5 hektar. Bentuk kompleks pemakaman tersebut seperti punden berundak. Ada sembilan pintu utama yang berundak menuju ke makam sang sunan, di antaranya Lawang (pintu) Gapura, Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem dan Lawang Teratai di puncak tertinggi.
Pengunjung yang ingin berziarah ke Astana Gunung Jati hanya boleh sampai di Pintu Pasujudan. Dengan tertib pengunjung memasuki pelataran tempat berziarah untuk merapalkan doa-doa. Di depan pintu Pintu Pasujudan itu mereka duduk bersimpuh.
Pintu tersebut merupakan pintu gerbang keempat dari sepuluh pintu gerbang yang ada di kompleks Astana Gunung Jati. Adapun makam Sunan Gunung Jati beserta keluarganya berada di bagian paling atas kompleks pemakaman yang berada di dataran tinggi Gunung Sembung ini.
Mereka yang berdoa selalu membawa bekal uang receh. Uang koin itu mereka lemparkan ke gerbang Pasujudan setelah selesai berdoa.
Simbol keberagaman dan akulturasi diletakkan di Astana Gunung Jati. Tradisi ziarah makam, misalnya, sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Ziarah ke makam wali ini merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme bernama upacara srada. Tradisi semacam ini sudah ada sejak masa pemerintahan Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang memerintah sekitar pertengahan abad ke-14.
Srada merupakan upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada muncul istilah nyadran yang sangat dikenal masyarakat Jawa. Tradisi nyadran adalah kegiatan menziarahi makam leluhur.
Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Tidak heran jika menjelang bulan Puasa, jumlah pengunjung di makam Gunung Jati semakin membeludak.
Sisi lain pemandangan taman sari Goa Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tampak bangunan batu bata dengan dekorasi batu karang.
Di situ pengunjung yang datang tidak hanya mereka yang beragam Islam, tetapi juga mereka yang beragama Buddha dan Khonghucu dari etnis Tionghoa.
Kedatangan mereka adalah untuk menziarahi makam Ong Tien. Untuk menziarahi Ong Tien disediakan tempat khusus, yakni di sebelah barat serambi depan kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati.
Di dalam kompleks pemakaman itu berdiri sebuah masjid yang semua tiangnya terbuat dari kayu. Nama masjid itu adalah Dog Jumeneng atau kini disebut Masjid Agung Sunan Gunung Jati.
Ada juga Gedung Jimat tempat menyimpan banyak guci-guci keramik kuno dari zaman Dinasti Ming Tiongkok dari abad ke-14-17, juga keramik dari Eropa, terutama dari negara Belanda. Sebagian keramik ditempatkan sebagai pajangan, menempel pada dinding bangunan makam. Jadi dalam sehari, Anda akan bisa mendapatkan begitu banyak kisah sejarah dari satu kota bernama Cirebon.